Friday 12 July 2013





Tidak banyak remaja yang hadir pada acara peringatan 118 tahun imigrasi bangsa Jawa ke Suriname. Pada acara yang digelar di Restoran Jawa de Smeltkroes Amsterdam itu lebih banyak dibanjiri generasi 30 tahun ke atas dan anak-anak kecil. Hanya ibu dan pria setengah baya yang menyaksikan dengan seksama pertunjukan wayang Ki Dalang Soekiban, berlakon "Pendawa Tapa di Tegal Kuruseta."
Dari seratusan pasang mata yang hadir, jumlah remajanya tidak lebih dari hitungan jari. Tampaknya remaja kurang berminat dengan acara yang menampilan berbagai pertunjukan kesenian Tari Serimpi, Tarian Gandrungan sampai Wayangan itu.

Bahasa Jawa
Pak Soekiban, dalang yang khusus didatangkan dari Suriname itu menyadari sulitnya menarik minat generasi muda untuk kesenian Jawa. Ia punya pengalaman sendiri di Suriname. Di sanggarnya perkampungan Jawa Blauwgrond, masih ada tiga remaja yang sedang belajar ndalang. "Tapi mereka masih belum berani, tampil di depan publik."Persoalannya bukan menggerakan wayangnya, katanya. "Tiga anak didik saya memang sudah bisa mencolot-mencolot dan njantur, tapi tidak bisa bahasa Jawa." Berbeda dengan Pak Soekiban yang masih kental Jawa walau kadang terdengar nuansa Surinamenya. Ia menggunakan bahasa level Madya, menengah. Pak Kiban, panggilan akrabnya, adalah generasi ke dua yang lahir di Suriname. Orang tuanya lahir di Banyumas Jawa Tengah.


Tidak Tertarik
Walaupun belum pernah ke Indonesia, pria 74 tahun itu masih merasa punya ikatan dengan tanah asal orantuanya. Ia ingin tetap meng-uri-uri budaya Jawa. Generasi muda tidak tertarik karena sudah tidak bisa bahasa jawa lagi. "Mereka itu sudah ora inter boso jowo." Termasuk cucunya sendiri juga sudah lupa bahasa Jawa, anak-anak remaja lebih suka menggunakan bahasa Belanda dan Neger Engels, bahasa pergaulan.


Masalah Regenerasi
Persoalan penerusan generasi ini memang menjadi salah satu topik penting di komunitas Jawa Suriname, baik yang di Suriname sendiri maupun di Belanda. Seperti yang diutarakan Ibu Sarah Matkasdjo, pesinden tunggal pada wayangan Soekiban. Ibu Sarah yang tinggal di Amsterdam Belanda itu belajar menjadi sinden tanpa guru. "Saya belajar sendiri, mencari gending sendiri sampai akhirnya membuat CD sendiri dan dipasarkan." Demikian ungkapnya dalam bahasa jawa fasih.


Di Belanda Lebih Besar
Menurut ibu Sarah, di Belanda ini sudah sulit untuk mengajak anak-anak muda Jawa untuk belajar nyinden. "Mereka lebih tertarik dengan musik-musik modern seperti Salsa, Merengue, Disko dan lainnya." tuturnya bernada kecewa. Ibu Sarah sudah mencoba mengajak beberapa anak muda untuk belajar nyinden atau menari. "Mereka biasanya mau menari tapi tidak mau menyanyi. Dadi koyo ledek bisu kaé."


Di Suriname Masih Ada Harapan
Walaupun kalangan muda Jawa Suriname di Belanda tidak aktif di kesenian, namun masa depan kesenian dan kebudayaan Jawa di Suriname sendiri masih ada harapan. Masih ada generasi yang menjalankan kegiatan kesenian. "Masih ada yang belajar menjadi dalang, menari, tari Serimpi, Ande-ande Lumut dan lainnya," demikian Bu Sarah menuturkan pengalamannya menyaksikan perkembangan di Suriname sendiri.

Pak Soekiban juga menambahkan bahwa kesenian Jawa di Suriname jalan terus walaupun tidak sebagus saat ini. Ia sadar bahwa penguasaan bahasa Jawa adalah syarat untuk melestarikan seni Jawa. "Itu bisa dicapai kalau ada jalinan kerjasama budaya antara Jawa Suriname dengan Jawa di Jawa sendiri," kata pak Soekiban.
Di penghujung bincang malam itu Pak Soekiban, yang sudah mulai renta itu dan sulit menggerakan kakinya itu berpesan, "tolong ya budaya dan seni jawa jangan sampai habis. Saya sudah tua, tidak akan mengalami lagi. Sekarang giliran yang muda."
Kata Kunci: Jawa SurinamePunahregenerasiSeniWayang

Menelusuri Jejak Imigran Jawa Di Suriname

Wajah Sidin pada pas foto di surat kesehatannya terlihat gagah. Pemuda asal Pekalongan itu menggunakan ikat kepala kain khas pemuda daerah pesisir Jawa, tidak berbaju dan bercelana putih.
Dalam foto tahun 1908 yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk pelengkap surat kesehatan sebagai syarat mengiriman Sidin ke Suriname itu dia berpose duduk santai dengan tangan di atas paha.
Bagi cucu Sidin, foto itu mempunyai arti penting dan bersejarah.
Maurit S Hassankhan/Sandew Hira memuat foto Sidin itu dalam buku Historische Database Van Suriname, Gegevens Over de Javaanse Immigranten (Data Sejarah Suriname, Data Imigrasi Orang Jawa) yaitu buku yang berisi data para imigran Jawa ke Suriname.

Buku yang terbit atas gagasan Amrit Consultancy dan Institut Riset Ilmu Sosial Universitas Suriname itu secara menakjubkan berhasil memuat lengkap data menyangkut 32.965 orang Jawa yang 114 tahun lalu menjadi pekerja dan bermigrasi ke Suriname.
Dalam rencana semula buku itu sebenarnya untuk memuat data imigran Hindustani ke Suriname, namun saat proyek berjalan muncul ide untuk memasukkan pula data jati diri orang-orang Jawa yang dikirim pemerintah Kolonial Belanda ke daerah jajahannya, Suriname, sejak 9 Agustus 1890 hingga 13 Desember 1939.
Pada periode itu terdapat 32.965 orang Jawa yang di kirim ke Suriname, suatu negara koloni kecil di Amerika Selatan.
Para pekerja asal Jawa itu pada 1890-1914 di berangkatkan dari Jawa dalam kelompok-kelompok kecil dari daerah pemberangkatan mereka dari Jakarta (Batavia) dan Semarang.
Di suriname mereka dipekerjakan di ladang dan pabrik perkebunan tebu, kopi, cokelat dan lainnya. Hanya pada angkatan ke 77 pada tahun 1904 mereka dipekerjakan dalam pembuatan jalan kereta api.
Selama perang Perang Dunia I para imigran Jawa itu juga ada yang dipekerjakan di tambang bauksit di Moengo, Suriname.
Dalam data yang tercantum pada buku itu dimuat nama imigran, nama orang tua, jenis kelamin, usia saat diberangkatkan, hubungan keluarga dengan pekerja lainnya, tinggi badan, agama (semua disebutkan Islam), tempat tinggal terakhir, tempat keberangkatan, tanggal tiba di Suriname, lembaga perekrut, perusahaan yang mempekerjakan, daerah tempat bekerja di Suriname, nomer kontrak dan keterangan perubahan jika ada.
Mereka dikontrak untuk bekerja selama lima tahun, tetapi kenyataannya sebagian besar dari mereka terpaksa bekerja seumur hidupnya.
Dalam buku itu disebutkan hingga pada tahun 1954 sekitar 8.684 (26 persen)imigran tersebut sudah dikembalikan ke kampung halaman masing-masing.
Mereka yang ingin tinggal menjadikan Suriname sebagai kampung halaman, tetapi disebutkan pula ada sebagian orang yang memilih menjadi warga negara Belanda ketika Suriname menjelang merdeka (1965) karena ingin mendapatkan tunjangan sosial.
Kisah Suwarto Mustaja, tokoh masyarakat Jawa Suriname, bisa menjadi contoh.
Suwarto salah seorang keturunan para imigran Jawa pada saat muda gigih berjuang bersama orang tua dan masyarakat Jawa lainnya untuk mendapatkan hak mereka agar bisa dikembalikan ke Indonesia, tetapi ketika pemerintah Belanda mengijinkan mereka pulang, ibunya justru menangis dan memilih untuk tetap tinggal di Suriname.
“Di sini kamu (Suwarto) lahir dan di sini aku akan tinggal,” kata Ibu Suwarto dengan linangan air mata.
Dengan berat hati Suwarto muda akhirnya memilih untuk tetap tinggal di Suriname, meskipun bapaknya mendesaknya agar kembali ke Indonesia.
Meski pahit hidup di perkebunan di Suriname, terpaksa mereka terima apa adanya.
Kini keturunan mereka tidak lagi bekerja di perkebunan milik perusahaan Belanda seperti orang tuanya karena perusahaan perkebunan Belanda sudah tutup atau bangkrut.
Sebagian kecil dari mereka yang mendapatkan ‘kebebasan’ itu beralih profesi menjadi pedagang dan ternyata meraih sukses, bahkan ada yang mampu mendapat pemasukan bersih US$20.000 per bulan seperti yang dialami Wilem Sugiono.
Tetapi, ada banyak pula bekas imigran dan keturunannya yang masih tetap berladang di tanah seluas 1,25 hektar dengan beragam tanaman.
Jenifer, ibu seorang anak relatif beruntung dibandingkan keturunan imigran Jawa lainnya.
Perempuan yang bersuamikan pria bernama Azis itu mengelola kafe kecil di samping hotel meiliknya.
“Saya hanya bisa sedikit berbahasa Jawa,” katanya dalam bahasa Inggris yang fasih.
Di samping bahasa Inggris, dia juga fasih berbahasa Belanda, sebagaimana sebagian besar orang keturunan Jawa lainnya.
Dengan memiliki hotel berbintang dua, cafe dan kompleks perbelanjaan dia terlihat hidup nyaman di Paramaribo, ibukota Suriname.
Paramaribo adalah kota kecil, dibandingkan kota di Indonesia, tetapi kota itu terlihat eksotik dengan gedung-gedung peninggalan Belanda yang memenuhi kota.
Tonggak hubungan
Kedubes RI di kota itu sejak 1980 hingga sekarang berusaha menjaga hubungan baik dengan Suriname, terutama dengan warga Jawa dan keturunannya yang kini berjumlah 74.760 (17,8%) dari 481.146 penduduk Suriname.
Tonggak hubungan baik itu terlihat pada pendirian Gedung Sono Budoyo pada 1990 yang mendapat bantuan dari Soeharto, Persiden RI pada masa itu.
Gedung disertai sebuah tugu yang dibangun pada tahun 1990 itu sekaligus untuk memperingati 100 tahun kedatangan orang Jawa di Suriname.
Pada tahun 2005, di suriname akan diadakan peringatan tahun ke-115 kedatangan orang Jawa di negara yang merdeka pada 25 November 1975 itu.
Pemerintah Indonesia dan Suriname melanjutkan tradisi bersahabat dengan mengadakan sejumlah pertemuan, diantaranya pertemuan Komisi Bersama Bilateral I RI-Suriname yang berlangsung di Paramaribo pada 03-05 April 2003.
Pada 22 November 2004 diadakan sidang lanjutan di Jogjakarta. Pada pertemuan kedua itu disepakati adanya sejumlah kegiatan diantaranya pelatihan di bidang otomotif bagi warga Suriname yang akan dilaksanakan di Indonesia pada 2005.
Indonesia juga akan mengundang pembicara dari Suriname untuk membahas peringatan 115 tahun imigrasi orang Jawa ke Suriname dan 100 tahun pelaksanaan transmigrasi di Indonesia.
Dalam pertemuan Direktur Pemukiman Kembali Ditjen Mobilitas Penduduk Depnakertrans Sugiarto Sumas dengan Menteri Perencanaan dan Kerjasama Pembangunan Suriname Keremchand Raghoebarshing dan Menteri Perburuhan, Pengembangan Teknologi dan Lingkungan Clifford Marica di Paramaribo terungkap keinginan kedua pihak untuk mengadakan lebih banyak kegiatan.
Diantaranya, pengiriman tenaga ahli dari Indonesia untuk melatih tenaga Suriname di berbagai bidang diantaranya pertanian, pariwisata, agribisnis, agroindustri dan pengelolaan hutan.
Suriname juga sangat berminat untuk mempelajari cara Indonesia mengembangkan daerah produktif baru untuk perkebunan atau pengembangan suatu wilayah.
Komisi bersama, sebenarnya sudah membahas berbagai bidang kerja sama kedua negara, seperti pertukaran pengalaman pembangunan nasional, meningkatkan perdagangan kedua negara, investasi, angkutan udara, turisme, kerja sama di bidang teknis, bantuan di bidang pelatihan, pendidikan, beasiswa non geloar, kerja sama di bidang komunikasi dan informasi, pencegahan kejahatan, pertahanan, dan sejumlah isu lainnya.
Kerinduan para imigran dan keturunannya akan budaya Jawa juga terungkap dalam pertemuan masyarakat keturunan imigran Jawa dengan Dubes RI Suparmin Sunjoyo dan Sugiarto Sumas di Distrik Wanica, dekat dari Paramaribo.
Sarmo, seorang warga keturunan Jawa pada kesempatan itu mendesak agar Indonesia segera megirim Guru Bahasa Jawa, Dalang, dan pengajar tari untuk mereka.
Dia juga mengharapkan Indonesia bisa mengirim pakar pertanian. Sementara keluarga imigran lainnya menagih janji pengiriman guru pencak silat.
Suparmin menjawabnya dengan simpati.
“Saya sudah bertemu dengan Sultan HB X, beliau menyangupi untuk mengirim guru bahasa Jawa, dalang dan guru tari. Jadi, saya sudah berusaha mewudjukan keinginan tersebut sebelum Pak Sarmo memintanya,” kata Suparmin lalu disambut tepuk tangan hadirin.
Mengenai, permintaan guru pencak silat, Dubes juga sudah membicarakannya dengan Prabowo, tokoh pencak silat Indonesia, sedangkan untuk penyediaan tenaga ahli pertanian, Suparmin akan membicarakannya dalam pertemuan lanjutan ketiga Komisi Bersama kedua negara dalam waktu dekat.
Interaksi Indonesia dan Suriname bisa tergambar pada antusiasme dan desakan Sarmo dan kawan-kawan akan peningkatan keterlibatan Indonesia dalam sendi-sendi kehidupan mereka.
“Indonesia adalah saudara kulo. Negara mbah kulo,” kata Sarmo.
Sarmo dan kawan-kawan memang “saudara” bagi orang Indonesia, meski berlainan kewarganegaraan.
(Sumber: selokartojaya.blogspot.com)

Negara Suriname menggunakan bahasa Jawa lho...!

Republik Suriname adalah negara yang terletak di benua Amerika yang berbatasan dengan negara Brazil,  rakyat negara Suriname dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan bahasa Jawa lho..
Yupz… selain dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa Jawa, warga negaranya pun rata-rata mempunyai nama Indonesia juga khususnya suku Jawa lho, seperti ketua parlemen negara Suriname yang bernama Paul Slamet Soemoharjo, Mendagri Suriname yaitu Soewarto Moestadja, Mentri Perkebunan Hendrik Setrowidjojo.
Kenapa bisa begitu ya ?, jadi begini sejarahnya sinyo-sinyo dan noni-noni…
Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia tepatnya pada tahun 1880, banyak rakyat Indonesia dari pulau Jawa yang ditangkap dan dibuang ke negara Suriname yang merupakan negara jajahan Belanda juga untuk bekerja secara paksa di perkebunan gula dan pengolahan kayu yang dibuka oleh Belanda di Suriname.
Seiring berkembangnya zaman, pada sekitar tahun 1990  penduduk negara yang memproklamirkan kemerdekaannya 36 tahun yang lalu itu sekitar 34,2%  atau 143.640 orang keturunan  asal  Indonesia alias suku jawa. Akhirnya mereka berbaur menjadi satu dalam perkawinan, dan akhirnya turun menurun.
Di Suriname orang Indonesia tersebar dibeberapa tempat dan kampung yang gampang dikenali karena kampung mereka masih menggunakan nama-nama dalam bahasa Indonesia seperti Desa Tamansari, Desa Tamanrejo dan semacam itu. Untuk mengingat akan tanah airnya Indonesia, selain desa mereka yang di beri nama dengan bahasa Indonesia, bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari pun adalah bahasa Jawa, walaupun bahasa resminya adalah bahasa Belanda.
Fonologi bahasa jawa Suriname menggunaan dialek Kedu yang menjadi bahasa induk warga negara Suriname asal Indonesia yang tentunya gak jauh beda dengan Bahasa Jawa yang baku.
Selain itu, budaya musik suku Jawa pun banyak sekali peminatnya lho di Suriname, contohnya musik Campur Sari. Pemusik Campur Sari Indonesia yaitu mas Didi Kempot sudah berulang kali di undang oleh pemerintah Suriname untuk menghibur rakyat Suriname. Wow…
Jadi begitu sejarahnya kenapa warga negara Suriname menggunakan bahasa jawa dalam kehidupan sehari-hari. Nah.. buat sinyo dan noni yang ingin berlibur ke benua Amerika jangan lupa mampir ke negara Suriname, dijamin bakal disambut baik deh oleh warga Suriname. Untuk berkomunikasi dengan rakyat Suriname, ya.. pakai aja bahasa Jawa, mereka pasti ngerti kok..

Jawa Suriname


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pertunjukan wayang kulit di Suriname
Suku Jawa sudah berada di Suriname sejak akhir abad ke-19, di mana angkatan pertamanya dibawa oleh kolonis Belanda dari Hindia-Belanda(sekarang Indonesia). Sebagian keturunan mereka ada yang tinggal di Belanda. Sampai sekarang, mereka tetap menuturkan bahasa Jawa.

Sejarah

Adanya orang Jawa di Suriname ini tak dapat dilepaskan dari adanya perkebunan-perkebunan yang dibuka di sana. Karena tak diperbolehkannya perbudakan di sana, dan orang-orang keturunan Afrika dibebaskan dari perbudakan. Di akhir 1800-an Belanda mulai mendatangkan para kuli kontrak asal Jawa, India dan Tiongkok. Orang Jawa awalnya ditempatkan di Suriname tahun 1880-an dan dipekerjakan di perkebunan gula dan kayu yang banyak di daerah Suriname.

Orang Jawa tiba di Suriname dengan banyak cara, namun banyak yang dipaksa atau diculik dari desa-desa. Tak hanya orang Jawa yang dibawa, namun juga ada orang-orang MaduraSundaBatak, dan daerah lain yang keturunannya menjadi orang Jawa semua di sana.
Orang Jawa menyebar di Suriname, sehingga ada desa bernama Tamanredjo dan Tamansari. Ada pula yang berkumpul di Mariënburg. Orang Jawa Suriname sesungguhnya tetap ada kerabat di Tanah Jawa walau hidupnya jauh terpisah samudra, itu sebabnya bahasa Jawa tetap lestari di daerah Suriname. Mengetahui Indonesia sudah 'merdeka', banyak orang Jawa yang berpunya kembali ke Indonesia. Kemudian, di tahun 1975 saat Suriname merdeka dari Belanda, orang-orang yang termasuk orang Jawa diberi pilihan, tetap di Suriname atau ikut pindah ke Belanda. Banyak orang Jawa akhirnya pindah ke Belanda, dan lainnya tetap di Suriname. Rata-rata orang Jawa Suriname beragama Islam, walau ada sedikit yang beragama lain.
Yang unik dari orang Jawa Suriname ini, dilarang menikah dengan anak cucu orang sekapal atau satu kerabat. Jadi orang sekapal yang dibawa ke Suriname itu sudah dianggap bersaudara dan anak cucunya dilarang saling menikah.
Orang Jawa Suriname berjumlah sampai 15% penduduk Suriname.